Jumat, 07 Desember 2012

Puisi : "Hope"

Bud'z 


          "Hope"

Dalam dunia yang fana ini...
Aku meratapi kesedihanku...
Mencoba menghadapi hari...
Yang mungkin bisa membunuhku...

Kisah.. yang ku simpan di relung hati...
Seakan membuat diri ini gila..
Hari-hariku.. ku lewati..
Bersama tangis dan luka..

Aku pun bertanya..
Apakah dapat kuraih kebahagiaan?
Ataukah hanya ratap tangis dan duka?
Apakah ku harus menerima semua kenyataan?

Ku coba untuk tersenyum..
Namun diri ini tak mampu..
Ku coba untuk tetap diam..
Tapi bayangnya selalu menghantuiku..

Ku ingin terlepas dari semua ini..
Mencoba hidup dalam ketenangan..
Ku ingin di cintai, bukan untuk di sakiti..
Dan kasih sayang yang ingin kudapatkan..

Write By,

Evander Bud'z Mongkaren

Jumat, 30 November 2012

Puisi "Arti Hidup"

Puisi


"Arti Hidup"

Evander Mongkaren (Bud'z)


Ku meratapi semua kesedihanku...
Berjalan melewati jalan yang berliku...
Membawaku dalam suatu keremangan...
Yang membuat diriku merasa gemetaran...


Aku bertanya kepada langit biru....
Namun dia tak mendengarkan ku...
Aku bertanya kepada angin.....
Namun dia tak merespon....


Aku terus mencoba berjuang...
Mencari sebuah titik yang terang...
Ku takkan pernah ragu dengan hidupku...
Dan tak akan berhenti untuk tetap maju...


Saat semuanya kulalui...
Ku mengerti, mengapa semua ini harus terjadi....
Kedewasaan dan Perjuanganku...
Adalah penentu, jalan hidupku....



Writen By,
Evander Mongkaren (Bud'z)

Gaya Hidup Pejabat Negara

Gaya Hidup Pejabat Negara

 

 

karikatur (Indopos)
Anda tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul? Katanya, politisi partai Demokrat ini menggunakan jam tangan berharga Rp 450 juta. Sedangkan Anis Matta, yang juga salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta.
Itu baru harga jam tangan. Coba tengok harga mobil para pejabat negara itu. Konon, ada tiga anggota DPR yang punya mobil seharga Rp 7 milyar. Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400 juta hingga 1,325 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan lainnya?
Nah, bagaimana dengan gaji Presiden? Berdasarkan peringkat gaji presiden tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16. Ia berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang memimpin negeri yang jauh lebih maju dan lebih makmur dibanding Indonesia.
Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ketiga di dunia. Gaji Pesiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.
Lebih tragis lagi, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Apakah harus begitu? Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup. “Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Ini menyangkut beberapa hal. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.

Penguasaan Asing Atas Ekonomi Indonesia Sudah Melewati Batas

Penguasaan Asing Atas Ekonomi Indonesia Sudah Melewati Batas

JAKARTA,- Pengamat ekonomi Kwik Kian Gie, menyayangkan beragam kebijakan pemerintah yang lebih pro pada investor asing, yang pada akhirnya mengakibatkan kekuatan ekonomi Indonesia dikuasai oleh asing. Dari data yang dimiliki Kwik, kekuatan ekonomi kita tidak lebih dari 2 persen hingga 8 persen saja. Kwik pun menyalahkan masalah ekonomi ini kepada para Menteri Ekonomi.
“Indonesia kini dikuasai oleh asing, kekuasaan ekonomi apalagi. Saham saham penting milik negara dan sumber daya alam sudah lebih dari setengah telah beralih kepemilikan oleh koorporasi asing,” terang Kwik, sambil menyebut bahwa kepenguasaan asing di tambang tambang yang menghasilkan emas, perak dan tembaga kini telah mencapai 90 persen.
Tidak hanya itu saja, menurut pakar ekonomi ini, tambang minyak yang ada di negara ini malah sudah sekitar 90 persen dikuasai oleh investor asing. Begitu pula dengan roda ekonomi mulai dari kepemilikan saham Indosat yang kini dimiliki asing
Padahal sejak tahun 1967 lalu, negara membatasi ruang gerak koorporasi asing masuk Indonesia, dengan hanya bisa terjun dan masuk ke roda perekonomian dengan jumlah sekitar 5 persen saja. Namun mulai tahun 1994 asing mulai menggebrak pasar dengan pencapaian sekitar 60 persen hingga 80 persen.
“Dan kini hasilnya sudah hampir mencapai 92 persen perusahaan dan aset aset negara yang didapat melalui alam, sudah dikuasai oleh asing. Bagaimana mungkin ekonomi kerakyatan dikatakan maju,” katanya di Jakarta Jumat 2 Agustus 2011.
Intervensi asing terhadap perekonomian Indonesia juga dirasakan oleh anggota komisi III DPR fraksi Golkar Bambang Soesatyo. “Kepemilikan asing dibeberapa saham milik kita sudah melewati batas. Ini harus segera kita seriusi,” terang Bambang seperti dilansir matanews.com yang mengaku terkejut dengan data yang dibeber oleh Kwik.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo meminta Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mendorong perbankan agar mengurangi kepemilikan asing. Agus merasa khawatir, jika industri perbankan Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik maka pada saat pemberlakuan ASEAN Economy Community, maka lapangan kerja di industri tersebut makin mudah dicaplok oleh tenaga-tenaga asing.
Data Bank Indonesia, per Februari 2011 terdapat empat bank persero, 36 bank umum swasta nasional (BUSN) devisa, 31 BUSN non devisa, 26 bank pembangunan daerah, 14 bank campuran, dan 10 bank asing. Kredit yang dikucurkan bank asing mencapai Rp117,057 triliun per Februari 2011. Dana pihak ketiga yang dihimpun sebesar Rp127,249 triliun. Total aset 10 bank asing sebesar Rp228,171 triliun.

By,
Bud'z

NKRI Terancam, Lima Pulau Masuk Daftar Jual ke Investor Asing

NKRI Terancam, Lima Pulau Masuk Daftar Jual ke Asing

RIMANEWS - Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali diuji. Sebanyak lima pulau ditawarkan untuk dijual, dua di antaranya melalui situs penjualan pulau pribadi dunia, www.privatesislandonline.
Kedua pulau itu ialah Pulau Gambar di Laut Jawa, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dan Pulau Gili Nanggu di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam penawarannya, www.privatesislandonline memajang gambar kedua pulau yang tampak indah dan eksotik.
Pulau Gambar disebutkan seluas 2,2 hektare dan dideskripsikan sebagai pulau yang masih perawan, dikelilingi pantai indah dengan laut yang relatif tenang dan dangkal. Kawasan Pulau Gambar juga digambarkan sangat cocok untuk memanjakan hobi menyelam atau memancing. Pulau itu dibanderol US$725 ribu (sekitar Rp6,8 miliar).
Adapun Pulau Gili Nanggu ditawarkan dengan harga sekitar Rp9,9 miliar. Pulau itu telah dilengkapi sejumlah fasilitas seperti 10 unit cottage, 7 bungalo, 1 restoran, kamar, dan area pengembangbiakan kura-kura.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin membenarkan adanya pulau di Indonesia yang hendak dijual. Menurutnya, tidak hanya dua seperti yang ditawarkan www.privatesislandonline, tetapi lima.
"Kami sudah crosscheck dan memang ada yang akan dijual. Bukan dua, melainkan lima. Sebagian besar di wilayah Indonesia Timur. Penjualan dilakukan secara perorangan. Orang-orang di pulau itu mengklaim sepihak atas kepemilikan pulau itu, tetapi tidak memiliki surat-surat yang sah," kata Hasanuddin, kemarin. Namun, ia tidak menyebutkan tiga pulau lainnya.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan Komisi I DPR sudah berkomunikasi dengan pemerintah daerah pemilik pulau-pulau tersebut. Ia menegaskan pulau tidak bisa dijual karena menyangkut kedaulatan negara.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat Gede Renjane juga membantah adanya penawaran penjualan Pulau Gili Nanggu di www.privatesislandonline. "Sebetulnya informasi ini sudah lama dan kami sudah cek di lapangan tidak betul ditawarkan untuk dijual. Tapi kalau untuk kerja sama, ya mungkin."
Menurutnya, Pemkab Lombok Barat telah memberikan hak guna bangunan kepada Yusuf guna mengelola pulau itu untuk dibangun fasilitas pariwisata. "Dari 12 hektare luas Gili Nanggu, baru 2,5 hektare yang sudah terbangun, sedangkan selebihnya masih berupa hutan," jelas Gede.
Kasus lama
Bukan kali ini saja pulau-pulau di Indonesia masuk daftar jual. Pada 2007, melalui situs www.karangasemproperty.com, Pulau Panjang di Sumbawa, NTB, seluas 33 hektare ditawarkan kepada pembeli. Kemudian, pada 2009, Pulau Siloinak, Makaroni, dan Kandui di Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat, dipajang di laman www.privatesislandonline.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menegaskan belum ada pulau di Indonesia yang dibeli pihak asing. "Sampai sekarang belum ada pulau yang dimiliki asing karena jual pulau tidak mudah. Saya yakin itu tidak mungkin dilakukan."
Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan penjualan pulau di Indonesia kepada pihak asing dilarang. "Amanat konstitusi menyatakan bahwa air, tanah, hasil bumi Indonesia dikuasai negara untuk kesejahteraan masyarakat. Tidak boleh ada jual-beli pulau," tandasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Tim Percepatan Investasi Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rokhmin Dahuri. "Kita tidak mengenal mekanisme penjualan pulau. Yang ada hanya hak pakai dan hak guna usaha. Itu pun ada batas waktunya."

By.
Bud'z

Selasa, 20 November 2012


Asal-Usul Pancasila

BK-Pancasila
Pohon sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu adalah Pancasila.
Pohon sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.
Akan tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Dengan demikian, banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan tersebut.
BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila  versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani Pancaҫila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernahcongruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing.

Pancasila Sebagai Ideologi Perjuangan Bangsa Indonesia

Pancasila
Di dalam kurungan penjara Banceuy yang gelap dan pengap, fikiran Bung Karno melayang hingga ke masa depan. Ia berusaha memberi landasan filosofis terhadap Republik yang hendak dibangunnya.
“Kami tidak akan mendirikan bangsa kami di atas Deklarasi Independen Amerika Serikat. Pun tidak dengan Manifesto Komunis. Kami tidak mungkin meminjam falsafah hidup orang lain,” kata Soekarno.
Begitu ia dibuang ke Ende, di Pulau Flores, NTT, Bung Karno makin menyelami falsafah yang cocok untuk Indonesia merdeka itu. Di sanalah, di bawah pohon sukun, ia menemukan lima butir mutiara. Itulah lima dasar yang menjadi pembentuk falsafah Pancasila.
Akhir April 1945, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI) dibentuk pemerintah Jepang. Soekarno menjadi bagian dari kepanitiaan itu. BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Tiga hari pertama persidangan diwarnai debat berkepanjangan.
Soekarno, yang sejak lama sudah menjahit mimpi Indonesia merdeka, segera tampil berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Pidatonya berlangsung selama kurang lebih satu jam. Ia berusaha meyakinkan peserta sidang, yang sebagian besar mewakili berbagai kekuatan politik dan utusan daerah, tentang pentingnya Indonesia merdeka.
Soekarno juga mendesakkan pentingnya “philosophische grondslag” (filosofi dasar) untuk Indonesia merdeka. Filosofi dasar inilah yang akan menjadi “Weltanschauung” (pandangan hidup) bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Soekarno pun mengajukan lima dasar filosofis: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, – atau perikemanusiaan, Mufakat, – atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah Pancasila!
Konteks Pancasila
Pancasila dilahirkan oleh sebuah momen historis, yakni Revolusi Nasional bangsa Indonesia. Tanpa memahami konteks historis ini, niscaya kita akan kebingungan meletakkan Pancasila dan konteks Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang bergerak mencapai tujuan.
Dalam konteks inilah, Airlangga Pribadi, seorang pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menganggap Pancasila sebagai bagian dari proses interupsi total dari rezim pengetahuan dominan yang menjadi suprastruktur dari basis material imperialisme kolonial.
Menurutnya, Pancasila harus dipahami sebagai “momen kebenaran”, yaitu proses menginterogasi segenap peristiwa-peristiwa yang merangkai kelahiran Pancasila dan sekaligus menegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah kelahiran penanda awal dari Pancasila sebagai ideologi dan haluan RI untuk membedakannya dari penanda sebelumnya, yakni era Imperialisme Kolonial.
“Dengan cara itu, kita bisa menolak berbagai tafsir-tafsir tentang Pancasila baik yang diproduksi oleh pendukung kekuatan lama Orde Baru Soeharto maupun penelikungan Pancasila oleh antek-antek neoliberalisme,” katanya.
Berakar dari Bumi Indonesia
Soekarno, seperti juga Lenin dengan Marxisme-nya, Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya, berusaha menggali sebuah ideologi bangsa yang cocok dengan realitas dan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketemulah ia dengan lima prinsip dalam Pancasila itu. Yang jika disederhanakan, sering disebut Tri-Sila, menjadi tiga gagasan besar: Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itupun bisa disederhanakan menjadi eka-sila: Gotong Royong!
DN Aidit, yang di era Bung Karno menjabat Wakil Ketua MPRS, menyebut Pancasila sangat objektif dan ilmiah. Sebab, Pancasila bertolak dari kenyataan atau realitas Indonesia. Ini sejalan dengan fikiran bung Karno, juga Bung Hatta, bahwa lima dasar dalam Pancasila sudah hidup dan mentradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sementara itu, Retor AW Kaligis, seorang doktor sosiologi di Universitas Indonesia, juga mengakui Pancasila sebagai hasil penggalian nilai-nilai Nusantara yang sudah hidup berabad-abad lalu. “Sebelum ajaran sosialisme dari Barat masuk, karakteristik sosialisme sudah ada di sini. Ketika zaman feodal tanah-tanah di Eropa dikavling para baron (tuan tanah), tanah komunal menghidupi rakyat kecil di sini.Pada zaman Majapahit, kepemilikan pertanian yang besar ditolak dengan melindungi hak pakai para petani.  Hak-hak adat atas tanah juga tumbuh di berbagai suku dan kerajaan,” katanya.
“Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Itulah perikemanusiaan melekat dalam jiwa bangsa Indonesia,” kata Soekarno.
Demikian pula kedaulatan rakyat atau demokrasi, yang oleh Bung Karno dikatakan “bukan barang baru” bagi bangsa Indonesia. Masyarakat di Minangkabau, seperti dicatat Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, sudah mempraktekkan mufakat alias demokrasi.
“Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama ‘mufakat’ yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat,” tulis Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, 1926.
Bangsa Indonesi juga sudah kental dengan cita-cita keadilan sosial. Bung Karno mencontohkan, sejak dulu semboyan “Ratu Adil” sudah ada di kalangan rakyat Indonesia. Juga slogan “Sama Rata, Sama Rasa”.
Pantas saja, Soekarno tidak mau disebut penemu Pancasila, melainkan sebagai “penggali Pancasila”. Sebab, Pancasila itu sudah hadir dalam tradisi dan menjadi harta-karun berharga bangsa Indonesia.
Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme
Karena Pancasila lahir dari konteks “masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, maka jiwa dan cita-cita Pancasila sangatlah anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Meski demikian, seperti disinggung Bung Karno dalam penutup pidato 1 Juni 1945, indonesia keluar dari alam penjajahan itu punya tujuan yang hendak dicapai: membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial): untuk Ketuhanan.
Yang jelas, kata Airlangga Pribadi, para pendiri bangsa ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan tidak saja imperialisme kolonial tetapi juga sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberalistik.
Airlangga mencontohkan, di dalam pidato Pancasila tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa demokrasi yang dicari bukanlah demokrasi barat—yang hanya menghadirkan kebebasan politik semata, melainkan sebuah “politiek economicshe democratie”, yakni sebuah tatanan politik yang mensyaratkan keterlibatan penuh rakyat dalam pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan sekaligus mendemokratiskan tatanan ekonomi dari proses penghisapan dan eksploitasi.
DN Aidit, yang di tahun 1960-an partainya makin merapat ke Bung Karno sebagai poros anti-imperialis, berusaha menangkap hal-hal yang melandasi kelahiran dan tujuan Pancasila itu. Materi kuliah Aidit di hadapan kader Front Nasional, “Revolusi Indonesia, Latar Belakang dan Hari Depannya”, menyimpulkan bahwa Pancasila Bung Karno berlandaskan pada lima hal: (1) bagi negara merdeka, artinya anti-kolonialisme; (2) bagi negara kebangsaan, artinya pemersatu seluruh kekuatan nasional; (3) anti terhadap sistem demokrasi borjuis; (4) bercita-cita sosialisme, dan (5) mempersatukan rakyat dengan tidak membeda-bedakan kepercayaan agamanya.
Sebagai dasar negara dan pemersatu
Dalam tulisan menyambut peringatan Lahirnya Pancasila 1 Juni 1964,  “Tjamkan Pantja Sila ! Pancasila dasar falsafah negara”, Soekarno memberi tiga pengertian pokok Pancasila: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa bangsa Indonesia; (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia; (3) Pancasila sebagai “Weltanschauung” bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
Di situ, Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.
Untuk yang pertama, pancasila merupakan ideologi atau filsafat yang tidak saja mempersatukan berbagai komponen bangsa Indonesia (suku, agama, golongan, dan lain-lain), tetapi juga mempersatukan berbagai aliran dan pemikiran politik dalam kerangka menuntaskan revolusi nasional bangsa Indonesia.
Dengan demikian, seperti ditekankan Soekarno, Pancasila mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, tidak seperti Orde baru: memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya filsafat.
“Yang saya impi-impikan adalah kerukunan pancasilais-manipolis dari segala suku-bangsa, segala agama, segala aliran politik, dan segala kepercayaan,” kata Soekarno (Tavip, hal.42).
Kemudian, yang kedua, yakni pancasila sebagai pemberi arah kepada bangsa Indonesia, dalam segala lapangan kehidupan, dalam rangka mencapai tujuan akhirnya: masyarakat adil dan makmur.
Bagi Soekarno, supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup”. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Ini mirip dengan ungkapan Eva Kusuma Sundari, politisi PDI Perjuangan, bahwa Pancasila itu seperti kompas dalam perjalanan bangsa. “Jika pancasila diabaikan, maka limbunglah perjalanan bangsa kita,” katanya.
Supaya leitstar itu bisa menggerakkan massa, kata Soekarno, maka ia harus betul-betul menyentuh dan menghikmati jiwa. Dengan demikian, pancasila sebagai pandangan hidup harus bermakna “dijiwai” oleh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya: bagaimana caranya “menjiwakan” pancasila di kalangan rakyat dan penyelenggara negara? Tentu saja, kita tidak setuju dengan model-model rezim orde baru, yang terkesan pemaksaan dan indoktrinasi. Akan tetapi, yang terpenting, bagaimana menghayati lima nilai atau dasar-dasar Pancasila itu. Tentu saja, supaya hal itu bisa berjalan baik, maka proses itu mestinya dimulai dari penyelenggara negara dan cerminannya adalah kebijakan yang pancasilais.