Selasa, 20 November 2012


Asal-Usul Pancasila

BK-Pancasila
Pohon sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu adalah Pancasila.
Pohon sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.
Akan tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Dengan demikian, banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan tersebut.
BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila  versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani Pancaҫila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernahcongruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing.

Pancasila Sebagai Ideologi Perjuangan Bangsa Indonesia

Pancasila
Di dalam kurungan penjara Banceuy yang gelap dan pengap, fikiran Bung Karno melayang hingga ke masa depan. Ia berusaha memberi landasan filosofis terhadap Republik yang hendak dibangunnya.
“Kami tidak akan mendirikan bangsa kami di atas Deklarasi Independen Amerika Serikat. Pun tidak dengan Manifesto Komunis. Kami tidak mungkin meminjam falsafah hidup orang lain,” kata Soekarno.
Begitu ia dibuang ke Ende, di Pulau Flores, NTT, Bung Karno makin menyelami falsafah yang cocok untuk Indonesia merdeka itu. Di sanalah, di bawah pohon sukun, ia menemukan lima butir mutiara. Itulah lima dasar yang menjadi pembentuk falsafah Pancasila.
Akhir April 1945, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI) dibentuk pemerintah Jepang. Soekarno menjadi bagian dari kepanitiaan itu. BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Tiga hari pertama persidangan diwarnai debat berkepanjangan.
Soekarno, yang sejak lama sudah menjahit mimpi Indonesia merdeka, segera tampil berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Pidatonya berlangsung selama kurang lebih satu jam. Ia berusaha meyakinkan peserta sidang, yang sebagian besar mewakili berbagai kekuatan politik dan utusan daerah, tentang pentingnya Indonesia merdeka.
Soekarno juga mendesakkan pentingnya “philosophische grondslag” (filosofi dasar) untuk Indonesia merdeka. Filosofi dasar inilah yang akan menjadi “Weltanschauung” (pandangan hidup) bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Soekarno pun mengajukan lima dasar filosofis: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, – atau perikemanusiaan, Mufakat, – atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah Pancasila!
Konteks Pancasila
Pancasila dilahirkan oleh sebuah momen historis, yakni Revolusi Nasional bangsa Indonesia. Tanpa memahami konteks historis ini, niscaya kita akan kebingungan meletakkan Pancasila dan konteks Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang bergerak mencapai tujuan.
Dalam konteks inilah, Airlangga Pribadi, seorang pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menganggap Pancasila sebagai bagian dari proses interupsi total dari rezim pengetahuan dominan yang menjadi suprastruktur dari basis material imperialisme kolonial.
Menurutnya, Pancasila harus dipahami sebagai “momen kebenaran”, yaitu proses menginterogasi segenap peristiwa-peristiwa yang merangkai kelahiran Pancasila dan sekaligus menegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah kelahiran penanda awal dari Pancasila sebagai ideologi dan haluan RI untuk membedakannya dari penanda sebelumnya, yakni era Imperialisme Kolonial.
“Dengan cara itu, kita bisa menolak berbagai tafsir-tafsir tentang Pancasila baik yang diproduksi oleh pendukung kekuatan lama Orde Baru Soeharto maupun penelikungan Pancasila oleh antek-antek neoliberalisme,” katanya.
Berakar dari Bumi Indonesia
Soekarno, seperti juga Lenin dengan Marxisme-nya, Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya, berusaha menggali sebuah ideologi bangsa yang cocok dengan realitas dan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketemulah ia dengan lima prinsip dalam Pancasila itu. Yang jika disederhanakan, sering disebut Tri-Sila, menjadi tiga gagasan besar: Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itupun bisa disederhanakan menjadi eka-sila: Gotong Royong!
DN Aidit, yang di era Bung Karno menjabat Wakil Ketua MPRS, menyebut Pancasila sangat objektif dan ilmiah. Sebab, Pancasila bertolak dari kenyataan atau realitas Indonesia. Ini sejalan dengan fikiran bung Karno, juga Bung Hatta, bahwa lima dasar dalam Pancasila sudah hidup dan mentradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sementara itu, Retor AW Kaligis, seorang doktor sosiologi di Universitas Indonesia, juga mengakui Pancasila sebagai hasil penggalian nilai-nilai Nusantara yang sudah hidup berabad-abad lalu. “Sebelum ajaran sosialisme dari Barat masuk, karakteristik sosialisme sudah ada di sini. Ketika zaman feodal tanah-tanah di Eropa dikavling para baron (tuan tanah), tanah komunal menghidupi rakyat kecil di sini.Pada zaman Majapahit, kepemilikan pertanian yang besar ditolak dengan melindungi hak pakai para petani.  Hak-hak adat atas tanah juga tumbuh di berbagai suku dan kerajaan,” katanya.
“Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Itulah perikemanusiaan melekat dalam jiwa bangsa Indonesia,” kata Soekarno.
Demikian pula kedaulatan rakyat atau demokrasi, yang oleh Bung Karno dikatakan “bukan barang baru” bagi bangsa Indonesia. Masyarakat di Minangkabau, seperti dicatat Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, sudah mempraktekkan mufakat alias demokrasi.
“Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama ‘mufakat’ yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat,” tulis Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, 1926.
Bangsa Indonesi juga sudah kental dengan cita-cita keadilan sosial. Bung Karno mencontohkan, sejak dulu semboyan “Ratu Adil” sudah ada di kalangan rakyat Indonesia. Juga slogan “Sama Rata, Sama Rasa”.
Pantas saja, Soekarno tidak mau disebut penemu Pancasila, melainkan sebagai “penggali Pancasila”. Sebab, Pancasila itu sudah hadir dalam tradisi dan menjadi harta-karun berharga bangsa Indonesia.
Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme
Karena Pancasila lahir dari konteks “masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, maka jiwa dan cita-cita Pancasila sangatlah anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Meski demikian, seperti disinggung Bung Karno dalam penutup pidato 1 Juni 1945, indonesia keluar dari alam penjajahan itu punya tujuan yang hendak dicapai: membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial): untuk Ketuhanan.
Yang jelas, kata Airlangga Pribadi, para pendiri bangsa ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan tidak saja imperialisme kolonial tetapi juga sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberalistik.
Airlangga mencontohkan, di dalam pidato Pancasila tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa demokrasi yang dicari bukanlah demokrasi barat—yang hanya menghadirkan kebebasan politik semata, melainkan sebuah “politiek economicshe democratie”, yakni sebuah tatanan politik yang mensyaratkan keterlibatan penuh rakyat dalam pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan sekaligus mendemokratiskan tatanan ekonomi dari proses penghisapan dan eksploitasi.
DN Aidit, yang di tahun 1960-an partainya makin merapat ke Bung Karno sebagai poros anti-imperialis, berusaha menangkap hal-hal yang melandasi kelahiran dan tujuan Pancasila itu. Materi kuliah Aidit di hadapan kader Front Nasional, “Revolusi Indonesia, Latar Belakang dan Hari Depannya”, menyimpulkan bahwa Pancasila Bung Karno berlandaskan pada lima hal: (1) bagi negara merdeka, artinya anti-kolonialisme; (2) bagi negara kebangsaan, artinya pemersatu seluruh kekuatan nasional; (3) anti terhadap sistem demokrasi borjuis; (4) bercita-cita sosialisme, dan (5) mempersatukan rakyat dengan tidak membeda-bedakan kepercayaan agamanya.
Sebagai dasar negara dan pemersatu
Dalam tulisan menyambut peringatan Lahirnya Pancasila 1 Juni 1964,  “Tjamkan Pantja Sila ! Pancasila dasar falsafah negara”, Soekarno memberi tiga pengertian pokok Pancasila: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa bangsa Indonesia; (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia; (3) Pancasila sebagai “Weltanschauung” bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
Di situ, Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.
Untuk yang pertama, pancasila merupakan ideologi atau filsafat yang tidak saja mempersatukan berbagai komponen bangsa Indonesia (suku, agama, golongan, dan lain-lain), tetapi juga mempersatukan berbagai aliran dan pemikiran politik dalam kerangka menuntaskan revolusi nasional bangsa Indonesia.
Dengan demikian, seperti ditekankan Soekarno, Pancasila mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, tidak seperti Orde baru: memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya filsafat.
“Yang saya impi-impikan adalah kerukunan pancasilais-manipolis dari segala suku-bangsa, segala agama, segala aliran politik, dan segala kepercayaan,” kata Soekarno (Tavip, hal.42).
Kemudian, yang kedua, yakni pancasila sebagai pemberi arah kepada bangsa Indonesia, dalam segala lapangan kehidupan, dalam rangka mencapai tujuan akhirnya: masyarakat adil dan makmur.
Bagi Soekarno, supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup”. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Ini mirip dengan ungkapan Eva Kusuma Sundari, politisi PDI Perjuangan, bahwa Pancasila itu seperti kompas dalam perjalanan bangsa. “Jika pancasila diabaikan, maka limbunglah perjalanan bangsa kita,” katanya.
Supaya leitstar itu bisa menggerakkan massa, kata Soekarno, maka ia harus betul-betul menyentuh dan menghikmati jiwa. Dengan demikian, pancasila sebagai pandangan hidup harus bermakna “dijiwai” oleh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya: bagaimana caranya “menjiwakan” pancasila di kalangan rakyat dan penyelenggara negara? Tentu saja, kita tidak setuju dengan model-model rezim orde baru, yang terkesan pemaksaan dan indoktrinasi. Akan tetapi, yang terpenting, bagaimana menghayati lima nilai atau dasar-dasar Pancasila itu. Tentu saja, supaya hal itu bisa berjalan baik, maka proses itu mestinya dimulai dari penyelenggara negara dan cerminannya adalah kebijakan yang pancasilais. 

Bung Karno Dan Negara Res Publica


Bung Karno Dan Negara Res Publica

Soekarno-wawancara
Pada tahun 1956, pertarungan politik dan gagasan di Indonesia mengarah kepada satu kesimpulan: demokrasi liberal harus segera diakhiri. Bung Karno, yang sejak awal menyatakan ketidaksukaannya terhadap model demokrasi ini, semakin menegaskan sikapnya dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Konstituante.
Kepada para calon pembuat konstitusi baru itu, Bung Karno telah menganjurkan agar konstitusi baru disusun berdasarkan realitas yang hidup di Indonesia. “Jangan meniru atau menyadur konstitusi orang lain,” kata Bung Karno. Ia menyerukan agar Konstituante membuat konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
>>>
Di tengah-tengah pidato itu, Bung Karno mengajak anggota Konstituante merenungkan arti kata Republik. Pasalnya, banyak yang memahami republik dari bentuk luarnya saja, tetapi belum memahami isinya.
Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau  mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.
>>>
Tetapi, untuk mencapai cita-cita res-publica yang dimimpikan Soekarno, ia perlu faktor pendukung: lingkungan politik yang stabil, persatuan nasional yang kuat, dan semangat rakyat yang berjuang.
Tetapi demokrasi liberal telah menjadi halangan untuk itu. Pertama, demokrasi parlementer menyebabkan pemerintahan tidak stabil, sehingga pemerintahan tidak bisa bekerja secara maksimal.
Sejak penerapan demokrasi parlementer, terhitung ada tujuh kali pergantian kabinet: Natsir (1950-1951), Sukiman, 10 bulan (April 1951-Februari 1952), Wilopo 14 bulan (April 1952-Juni 1953), Ali Sastroamidjojo 24 bulan (Juli 1953-Juli 1955), Burhanuddin Harahap 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956), lalu kembali Ali Sastroamidjojo 12 bulan (Maret 1956-Maret 1957).
Kedua, demokrasi parlementer membawa bangsa Indonesia yang masih muda ke dalam sebuah krisis; friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, menurunnya semangat juang, dan lain sebagainya.
Hal itu, dalam bayangan Bung Karno, sangat terang melemahkan persatuan nasional. Padahal, di satu sisi, masih ada tugas nasional yang belum selesai, yaitu menghancurkan sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme.
Ketiga, Demokrasi itu juga dianggap oleh Bung Karno telah meracuni rakyat: munculnya ego-sentrisme. Ego-sentrisme telah memicu gerakan separatism di daerah, baik yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan.
Bagi sebagian pengamat politik, seperti Ignas Kleden, pengalaman demokrasi parlementer memberikan pencapaian positif: perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi telah membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
Bung Karno sangat tegas menolak demokrasi liberal ataupun ‘diktatur’.
Demokrasi liberal, seperti berulang-ulang dikatakannya, hanya mengejar persamaan di lapangan politik, tetapi mengabaikan persamaan sosial atau ekonomi.
“Seperti juga dalam perdagangan, jika kesempatan yang sama itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang sama, maka golongan yang lemah akan tertindas oleh golongan yang kuat,” ujarnya Soekarno, seraya menyakinkan anggota konstituante.
Oleh karena itu, muncul ide Soekarno untuk mendesakkan sebuah tipe demokrasi yang terbimbingatau terpimpin, yakni sebuah demokrasi mencegah terjadinya eksploitasi oleh si kuat terhadap si lemah.
Tetapi perlu dicatat, terkait penerapan model demokrasi terpimpin itu, Soekarno menggaris-bawahi bahwa hal itu hanya dilakukan dalam masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari alam kolonialisme ke nasional; peralihan dari perbudakan ke alam kemerdekaan politis-ekonomis.
Periode transisi sendiri akan berakhir pada satu titik: saat dimana emansipasi ekonomi dan sosial sudah merata.
Tetapi, dimata banyak pengamat politik, demokrasi terpimpin dianggap menciptakan benih otoritarianisme; ada pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, ada pula pelarangan terhadap karya-karya seniman yang tak sejalan dengan pemerintah, ada pembredelan sejumlah surat kabar.
Tetapi, perlu dicatat di sini, bahwa “pelarangan” tidak berarti penghancuran secara fisik terhadap partai atau kegiatan politik dimaksud. Kita jangan membayangkan “pelarangan” di sini seperti ketika Soeharto melarang PKI dan ajarannya. Soe Hok Gie, yang aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis—dekat dengan PSI, masih beraktivitas dan aktif berhubungan dengan orang-orang PSI.
Soekarno sendiri menolak menjadi diktatur, sekalipun kesempatan itu berkali-kali datang kepadanya. Pada tanggal 17 Oktober 1952, misalnya, ketika militer melancarkan kudeta dan memintanya membubarkan parlemen, Soekarno menjawab, “Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”