Gaya Hidup Pejabat Negara
Anda tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul? Katanya, politisi partai
Demokrat ini menggunakan jam tangan berharga Rp 450 juta. Sedangkan Anis
Matta, yang juga salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta.
Itu baru harga jam tangan. Coba tengok harga mobil para pejabat negara
itu. Konon, ada tiga anggota DPR yang punya mobil seharga Rp 7 milyar.
Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400
juta hingga 1,325 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan
lainnya?
Nah, bagaimana dengan gaji Presiden? Berdasarkan peringkat gaji presiden
tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16. Ia
berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang
memimpin negeri yang jauh lebih maju dan lebih makmur dibanding
Indonesia.
Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per
tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita
Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing
negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ketiga di dunia. Gaji
Pesiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.
Lebih tragis lagi, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga
Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat
publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik
harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Apakah harus begitu? Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang
pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang
lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga
tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup. “Keteguhan hati dan
keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin
tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan
menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si
pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya
itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar
istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga
harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli
sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal
tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih
jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian
kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam
kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak
juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar
900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita
tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak
menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia
memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk
dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan
ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Ini menyangkut beberapa hal. Pertama,
ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung
Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat
adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk
memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno
dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat
publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada
rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.